Jam menunjukkan pukul 22.10. Laptop masih terbuka di meja belajar Arga, tapi matanya sibuk menatap layar ponsel. Scroll TikTok. Buka Instagram. Balas DM. Lanjut ke YouTube. Sesekali berpindah ke tab Google Docs yang masih kosong—tugas esai sejarah yang harusnya dikumpul besok pagi. Tapi ide tak kunjung datang.

Notifikasi masuk: “Bro, udah ngerjain tugas sejarah?” Arga hanya melihatnya sekilas, lalu meletakkan ponsel menghadap ke bawah. Padahal hari ini di sekolah, ia merasa kacau. Nilai fisika turun, tugas matematika belum selesai, dan ia terlalu lelah berpura-pura baik-baik saja. Tapi, seperti biasa, di media sosial ia tetap tampil seperti remaja keren yang hidupnya serba teratur dan menyenangkan.

Foto terakhir yang ia unggah: Arga duduk di perpustakaan dengan secangkir kopi dan laptop terbuka—caption-nya: "Productive day, stay focused "

231 likes. 16 komentar. Tapi ia tahu… semua itu hanya pencitraan.

Ibunya sempat masuk kamar tadi sore. “Kamu kenapa, Ga? Mukamu pucat.” Arga hanya menjawab cepat, “Nggak apa-apa, Mah. Cuma capek.” Capek yang sebenarnya bukan hanya karena tugas. Tapi karena tekanan—untuk selalu terlihat pintar, keren, dan sukses di dunia maya.

Keesokan harinya di sekolah, beberapa teman menepuk pundaknya. “Gokil feed lo, Ga. Estetik banget!” “Gua jadi termotivasi belajar juga liat postingan lo kemarin!” Arga tersenyum tipis. Tapi hatinya? Jauh dari itu. Di dalam, ia merasa seperti robot—diatur oleh algoritma, dipuji karena penampilan, padahal isi kepalanya penuh kebingungan dan lelah yang tak tahu harus ditumpahkan ke mana.

***

Suatu hari, Arga memutuskan untuk berbicara dengan ibunya tentang perasaannya. Ia menjelaskan bagaimana ia merasa lelah dengan pencitraan di media sosial dan tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Ibunya mendengarkan dengan sabar dan memberikan nasihat yang bijak.

"Arga, kamu tidak perlu menjadi orang lain untuk diterima. Kamu bisa menjadi diri sendiri, dengan semua kekurangan dan kelebihannya. Jangan takut untuk menunjukkan kelemahanmu, karena itu akan membuatmu lebih kuat dan lebih dekat dengan orang-orang yang benar-benar peduli

Arga merasa lega setelah berbicara dengan ibunya. Ia menyadari bahwa ia tidak perlu mempertahankan pencitraan yang tidak nyata. Ia mulai mengurangi penggunaan media sosial dan fokus pada kegiatan yang membuatnya bahagia.

***

Malam itu, Arga memutuskan untuk menghapus postingan "Productive day" yang ia unggah sebelumnya. Ia merasa lega dan bebas dari tekanan untuk selalu terlihat sempurna. Ia menutup laptopnya, mematikan ponselnya, dan memutuskan untuk beristirahat. Untuk pertama kalinya,

Arga merasa bahwa ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus terlihat sempurna di mata orang lain. Dan itu membuatnya merasa lebih bahagia dan lebih bebas.

 

Penulis: Nadya Auval Hanna