Dulu waktu SMA, aku pernah salah pilih jurusan lomba. Temen-temen aku maju terus, aku malah nyesel. Dari situ, aku mikir ‘Kalau bisa ada alat yang bisa bantu mikir, kenapa enggak?’ Dan RecoAI datang kayak penyelamat. Awalnya cuma iseng, tapi lama-lama... jadi pegangan hidup.
***
"Kamu kenapa sih, Riz? Ngikutin banget ama tuh si RecoAI, sampe milih baju juga nanya ke dia. Gak capek hidup kamu diatur algoritma?" Ungkapan yang selalu diungkapkan oleh Tiara untuk aku.
Aku cuma nyengir, sambil nunduk liat layar HP. Saran dari RecoAI baru aja masuk.
"Untuk hari ini, disarankan mengenakan jaket denim biru dan sneakers putih. Suhu: 28°C. Mood: Fokus."
"Ya, biar gampang, Ra. Kamu pikir enak mikirin semua sendiri? Hidup udah ribet, mending disederhanain aja. RecoAI tuh bantu banget." Jawab aku
Tiara ngelirik aku sambil geleng-geleng.
"Kamu tuh ya… Anak zaman sekarang, tapi malah jadi budak teknologi." Nyerocos Tiara
Aku ketawa. "Ya karena aku anak zaman sekarang makanya aku tau gimana cara manfaatin teknologi."
Tiara menarik napas panjang, meneruskan jalan dukamuan. Aku sempet mikir, mungkin dia bener juga. Tapi ya gimana, RecoAI udah bantu aku dari lama. Semua keputusan penting, jurusan kuliah, teman nongkrong, bahkan makanan yang harus aku hindari bisa semuanya RecoAI yang bantuin. Aku tinggal klik "Yes".
Hidup simpel, gak pake drama. Gak kayak orang-orang yang masih mikir pake hati. Ribet.
***
Seminggu berikutnya, aku lagi nungguin pengumuman lomba desain digital. RecoAI yang saranin aku buat ikut. Katanya "good for future portfolio". Aku sendiri sebenarnya kurang minat, tapi yaudah, tinggal ikuti saja. Tiba - Tiba HP aku geter, notifikasi masuk.
"Hasil kompetisi: Anda tidak lolos. Saran: Fokus pada kegiatan produktif lain."
Aku melongo. Gak
lolos? Padahal aku ngikutin semua saran RecoAI. Mulai dari gaya desain, warna
dominan, sampe waktu terbaik buat brainstorming. Kok bisa gagal?
Aku tiba-tiba ngerasa aneh. Ada kayak suara kecil di dalam kepala aku bilang, "Emang itu bener-bener keinginan kamu? Atau kamu cuma ngerasa aman karena disuruh aplikasi?"
***
Besoknya, waktu kelas kuliah, dosen nanya.
“Apa makna bahagia buat kalian?”
Satu-satu temen aku jawab, ada yang bilang ‘mencapai cita-cita’, ‘bersyukur’, ‘bebas berekspresi’. Aku? Aku nunduk. Nunggu notifikasi masuk. Tapi… gak ada. RecoAI gak bisa jawab pertanyaan kayak gitu.
Dua jam kemudian, Tiara nyamperin aku.
"Aku ada acara komunitas weekend ini. Tentang literasi digital dan critical thinking gitu. Kamu ikut ya." Ajak Tiara
Aku mengangkat alis. "Kedengarannya... nggak RecoAI banget." Jawabku
Dia ketawa, agak nyinyir. "Ya, emang. Kita pake otak sendiri, bukan otak pinjeman." Ujarnya dengan nada sarkas
Aku ketawa kecil. Tapi aku tertantang.
***
Hari H, aku dateng. Canggung, jelas. Tapi pas sesi diskusi, ada satu pertanyaan yang bikin aku mikir
"Kalau AI bisa bantu kita mikir, terus apa gunanya intuisi? Apa gunanya salah?"
Aku diem. Itu kayak nempel banget di kepala.
Malemnya, aku buka RecoAI. Mau nanya hal sepele: "Haruskah aku ikut organisasi kampus?"
Tapi jari aku mandek di tombol submit.
Untuk pertama kalinya, aku mikir, "Kenapa aku gak coba milih sendiri?"
***
Hari-hari berikutnya, aku mulai kurangi pakai RecoAI. Gak langsung total, tapi sedikit-sedikit. Milih menu makan siang sendiri. Milih gaya nulis esai pake gaya aku, bukan hasil rekomendasi template.
Dan anehnya, hidup rasanya lebih... hidup.
Ada error. Ada salah. Tapi ada rasa puas yang dulu gak pernah aku dapet. Puncaknya, RecoAI kasih saran buat daftar internship di perusahaan teknologi luar negeri. Gaji gede, CV keren, masa depan cerah.
Tapi...
Di waktu yang sama, Tiara ngajakin aku buat bareng-bareng kembangin komunitas edukasi digital buat pelajar di daerah. Gak dibayar. Tapi, mata dia berbinar pas cerita. Semangatnya nyata.
Aku nunduk. Buka RecoAI.
"Saran: Pilih peluang dengan prospek ekonomi lebih besar."
Aku tarik napas.
Lama..
Aku tutup aplikasinya.
"Aku ikut kamu, Ra." Ujar ku
Dia ngangkat alis. "Kamu yakin? Itu ngelawan rekomendasi RecoAI, loh." Tanya Tiara dengan ragu
Aku senyum. "Justru karena aku mulai sadar, yang paling cerdas tuh bukan mesin, tapi hati aku sendiri." Jawabku
***
Dua bulan kemudian, komunitas itu jalan. Kita ke sekolah-sekolah, ngajarin pelajar tentang digitalisasi tapi juga kita mengedukasi ke mereka bahwa jangan sampai kita yang dipakai oleh teknologi.
Aku liat sendiri anak-anak SMA yang matanya bersinar pas diskusi. Mereka nanya hal-hal yang dulu bahkan gak kepikiran sama aku.
"Bang, AI itu bakal gantiin manusia gak sih?" Tanya salah satu siswa
"Kalau semua keputusan hidup dibantu AI, kita masih bisa dibilang manusia gak?" Jawabku
Dan setiap kali aku jawab, aku juga ngerasa kayak lagi ngobrol sama versi lama aku sendiri. Versi yang dulu terlalu takut buat salah, sampe akhirnya gak pernah ngambil keputusan sendiri.
***
Suatu sore, setelah kelar sesi diskusi di salah satu SMA kecil di pinggir kota, aku duduk bareng Tiara di tangga mushola sekolah itu. Langit mulai jingga, senjanya merah merekah.
"Kamu nyadar gak sih, Riz," kata Tiara sambil mainin tutup botol minumnya. "Dulu itu kayak... robot. Polos, patuh, tanpa protes." Sarkas Tiara
Aku ketawa. "Iya, thanks to RecoAI." Jawabku dengan malu
"Eh, tapi sekarang... kamu hidup, bro. Kayak manusia beneran." Jawabnya dengan sambil tersenyum
Dia senyum, dan senyum itu... bukan kayak emoji AI, tapi tulus. Manusiawi banget.
Aku mengangguk pelan. "Aku juga ngerasa gitu. Dulu semua serba praktis, tapi... kosong." Ujarku
"Karena hidup bukan tentang sempurna, Riz. Tapi tentang ngerasain semua — gagal, bingung, jatuh, bangkit... itu yang bikin kita hidup." Ucap Tiara
Aku ngeliat ke langit. "Kamu sadar gak, ironi banget. Aku ngajar anak-anak buat mikir kritis, padahal dulu aku bahkan gak ngerti apa itu ‘kata hati’." Jawabku dengan perasaan menyesal
"Well," Ucap Tiara sambil menyenggol lengan aku
"Kamu berubah. Dan itu lebih keren daripada algoritma manapun." Sambungnya
***
Beberapa minggu kemudian, aku dapet email dari perusahaan luar negeri — yang dulu RecoAI saranin. Mereka katanya buka lowongan lagi dan ngundang aku daftar ulang. Gaji lebih tinggi, peluang pindah ke Eropa, wah pokoknya gemerlap lah.
Aku diem sebentar, baca email itu dalam hening. Terus aku liat ke laptop, buka dokumen perencanaan komunitas yang aku dan Tiara bikin semalam. Ada nama-nama sekolah yang mau dikunjungi, topik diskusi yang pengen kita bawa, dan pesan-pesan yang pengen kita tanamkan ke anak-anak.
Dan di situ, aku ngerasa... ditempat yang tepat.
Aku gak bales email itu.
***
Setahun berlalu.
Komunitas kita makin besar. Banyak relawan baru yang ikut. Bahkan beberapa alumni SMA yang dulu kita datengin, sekarang balik jadi mentor. Rasanya... kayak efek domino positif yang terus menyebar.
Suatu hari, pas kita ngisi acara di auditorium kampus negeri, aku naik ke atas panggung buat jadi pembicara utama.
Aku berdiri di depan ratusan pelajar. Deg-degan? Jelas. Tapi juga penuh semangat.
Aku mulai bicara
"Zaman sekarang, semuanya serba cepat, serba otomatis. Kita bisa cari jawaban dari AI dalam detik. Tapi pertanyaannya adalah... masih penting gak sih nanya ke diri sendiri?"
Semua hening.
Aku lanjut, "AI bisa bantu banyak hal. Tapi satu hal yang gak bisa dia lakuin adalah... jadi kita. Dia gak bisa ngerasain galau, cinta, kecewa, bangga. Dan justru itu yang bikin kita hidup. Yang bikin kita manusia."
Aku pandang satu per satu wajah-wajah muda itu.
"Jadi, jangan pernah takut buat milih sendiri. Jangan takut salah. Karena kadang, dari salah itu, kamu justru nemu siapa diri kamu sebenarnya."
***
Dan akhirnya...
Malam itu, di depan cermin, aku liat diri aku sendiri. Bukan versi yang selalu nunduk ke layar HP, nunggu jawaban dari sistem. Tapi versi yang berani mikir, ngerasain, dan bertindak.
RecoAI masih ada di HP aku. Tapi udah jarang aku buka. Bukan karena dia jelek. Tapi karena aku udah belajar satu hal penting:
Mesin bisa kasih saran. Tapi hati kamu sendiri yang tahu
arah.
~ Rizky Maulana Ahmad
Penulis: Muhammad Ariq Ramadhoni