Jam menunjukkan pukul
23.45. Layar ponsel Fira masih menyala, jempolnya sibuk menggulir Instagram.
Satu foto terakhir—selfie dengan latar cafe aesthetic—baru saja ia unggah dua
jam lalu.
172 likes. 12 komentar.
Tapi… tetap saja rasanya
kosong.
“Apa kurang filter ya?”
gumamnya sambil membuka aplikasi edit foto lagi.
Padahal tadi sore, Fira
pulang sekolah dengan wajah lesu. Nilai matematikanya jeblok.
Ibunya bertanya pelan,
“Kamu kenapa, Nak?” Tapi Fira hanya menjawab dengan senyum setipis kertas.
“Enggak apa-apa, Bu.”
Karena bagi Fira, lebih
penting menampilkan “versi bahagia” di Instagram daripada mengakui kalau
ia sedang lelah.
Pagi harinya di sekolah,
teman-temannya memuji unggahan foto semalam.
“Fira, kamu makin keren
aja. Foto kemarin cantik banget!”
“Wah, feed kamu rapi
banget. Kayak selebgram!”
Fira tersenyum… tapi
hanya bibirnya. Di dalam hatinya tetap penuh sesak. Ia merasa seperti boneka
etalase—dipoles sempurna di luar, tapi rapuh di dalam.
***
Malam berikutnya, Fira
duduk sendiri di kamar. Ponsel di tangannya kembali menyala. Tapi kali ini, ia
tidak membuka media sosial. Ia membuka galeri, melihat fotonya sendiri—yang
tanpa filter, tanpa senyum palsu, tanpa pencahayaan buatan.
Ia menatap lama…
Lalu, pelan-pelan ia
menulis sesuatu di catatan ponsel:
“Kenapa aku merasa harus
terus terlihat bahagia, padahal aku sedang butuh pelukan? Apakah validasi
digital lebih penting dari kejujuran pada diri sendiri?” ujarnya pada dirinya
sendiri
Air matanya menetes. Bukan karena kesedihan, tapi karena ia akhirnya jujur pada dirinya sendiri.
Validasi
digital memang bisa memberi rasa senang sesaat, tapi tidak pernah bisa
menggantikan kedamaian hati yang datang dari kejujuran terhadap diri sendiri. Di
balik senyum di layar, ada banyak hati yang sedang resah. Dan tak manusiawi.
Penulis: M.
Nur Mafaza